[DIS-KAS] Narkotika dan Aksesibilitasnya bagi Narapidana di dalam Tahanan

Dipublikasikan oleh rajabandar.wg pada

Ilustrasi narapidana di dalam lapas

 

Narkotika atau yang sering disebut dengan narkoba merupakan zat atau obat yang bersifat alamiah, sintetis, maupun semisintetis yang dapat menimbulkan efek penurunan kesadaran, halusinasi, serta daya rangsang.[1] Pengertian narkotika ini pun diatur dalam Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika yang mengatakan bahwa:

“Narkotika adalah zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan tanaman, baik sintetis maupun semisintetis, yang dapat menyebabkan penurunan atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi sampai menghilangkan rasa nyeri, dan dapat menimbulkan ketergantungan, yang dibedakan ke dalam golongan-golongan sebagaimana terlampir dalam Undang-Undang ini”.[2]

Narkotika memiliki beberapa kandungan zat yang dapat memberikan sejumlah manfaat pada tubuh manusia apabila penggunaannya berada di batas kewajaran pemakaian. Tak jarang kita temui zat narkotika digunakan oleh para tenaga kesehatan untuk keperluan proses penyembuhan pasien karena beberapa di antaranya memiliki efek menenangkan. Akan tetapi, berbanding terbalik keadaannya apabila zat narkotika ini dipergunakan dalam dosis berlebihan. Penggunaan berlebih ini didasari oleh keinginan si pengguna untuk terus merasakan efek yang menenangkan dan menyenangkan, sehingga tanpa disadari kadar zat yang dipakai jauh melampaui batas normal pemakaian. Dosis yang berlebih ini dapat menimbulkan efek candu bagi penggunanya. Oleh karena itu, untuk mencegah dan meminimalisasi penyalahgunaan narkotika, disusunlah suatu peraturan tertulis yang bersifat mengikat dan memaksa bagi setiap warga masyarakat terkait pemakaian narkotika.

Tertulis dalam Bab XV Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 mengenai beberapa ketentuan pidana terhadap pihak yang terlibat dalam penyalahgunaan zat narkotika. Hukuman yang diberikan rata-rata berupa sanksi pidana penjara dan denda bagi yang memiliki, memproduksi, menyalurkan, menjadi perantara, menjual, membeli, dan tugas lainnya yang terlibat dalam pengadaan dan pengedaran narkotika untuk keperluan yang tak semestinya. Bagi penyalahguna narkotika dapat dikenai sanksi berupa pidana penjara beberapa tahun atau upaya pemulihan berupa rehabilitasi medis dan sosial. Dapat kita pahami bahwa mayoritas pelaku yang terlibat dalam penyalahgunaan narkotika ini dikenai hukuman sanksi berupa pidana penjara dan denda. Akan tetapi, upaya pemulihan di sini seakan-akan menjadi upaya tambahan saja. Oleh karena itu, pengaturan demikian menyebabkan Lembaga Pemasyarakatan atau Rumah Tahanan yang digunakan sebagai wadah untuk memberikan efek jera kepada para narapidana justru tidak berlaku secara maksimal.

Terdapat beberapa faktor yang menyebabkan fungsi pada Lembaga Pemasyarakatan atau Rumah Tahanan tidak berlaku secara maksimal. Salah satu faktor penyebabnya adalah kondisi overcrowded di dalam tahanan. Overcrowded dalam tahanan timbul karena jumlah para narapidana yang cenderung lebih banyak dibandingkan dengan para penjaga Rumah Tahanan atau Lembaga Pemasyarakatan (sipir). Kondisi overcrowded ini muncul dari sistem retributif yang diterapkan dalam pemidanaan di Indonesia. Sistem retributif ini hanya berfokus pada pembalasan atas suatu perbuatan. Bentuk balasan ini berupa sanksi pidana penjara, kurungan, maupun denda. Dengan penerapan sistem seperti itu, dapat kita pahami bahwa semakin banyak orang yang melakukan perbuatan melawan hukum, semakin padat pula keadaan di dalam tahanan. Hal ini menimbulkan kondisi yang kurang kondusif dan berkurangnya tingkat keamanan dan pengawasan pada Lembaga Pemasyarakatan atau Rumah Tahanan. Hal ini dikarenakan jumlah para narapidana yang cenderung lebih banyak dibandingkan dengan para penjaga Rumah Tahanan atau Lembaga Pemasyarakatan (sipir). Di samping faktor penjagaan, banyaknya narapidana yang pernah terlibat dalam kasus pengedaran, pengadaan, dan penyalahgunaan narkotika sangat mendukung narkotika untuk masuk ke dalam tahanan, sehingga hal demikian memberikan angin segar bagi aksesibilitas narkotika ke dalam tahanan. Faktor-faktor tersebut yang menjadikan tahanan bukan sebagai tempat pemberian jera bagi para pelaku, melainkan menjadi sarana untuk memperluas jejaring narkotika dan lahan penyimpanan narkotika.

Peliknya permasalahan pengedaran narkotika dari dalam tahanan mendorong pemerintah untuk memberikan penyelesaian secara proporsional yang dapat mengubah kondisi Lembaga Pemasyarakatan atau Rumah Tahanan kembali kepada fungsi awalnya, yaitu untuk memberikan efek jera dan edukasi bagi narapidana agar tidak mengulangi perbuatannya. Beberapa upaya konkret yang sedang diupayakan saat ini adalah adanya kerja sama antara aparat penjaga tahanan (sipir) dengan personel yang berintegritas dari Badan Narkotika Nasional. Kerja sama ini dimaksudkan untuk memperkuat proses penjagaan dan pengamanan dalam tahanan narapidana yang terlibat dalam kasus peredaran, pengadaan, dan penyalahgunaan narkotika. Selain itu, proses penjagaan pun diupayakan didukung oleh pengadaan teknologi yang memadai pada sarana dan prasarana di dalam Lembaga Pemasyarakatan, contohnya pengadaan E-Visitor dan X-Ray. Di samping itu, adanya pembatasan jumlah kunjungan terhadap narapidana di dalam tahanan dapat mengurangi peluang masuknya narkotika dari luar tahanan.

Upaya yang kedua adalah penarikan petugas penjaga tahanan yang terindikasi ke dalam oknum penyalahguna maupun pembantu peredaran narkotika di dalam tahanan. Upaya ketiga adalah penetapan empat Lembaga Pemasyarakatan sebagai tempat penahanan narapidana yang terlibat dalam pengadaan, peredaran, dan penyalahgunaan narkotika. Empat Lembaga Pemasyarakatan tersebut terdiri dari Lembaga Pemasyarakatan Gunung Sindur (Bogor), Langkat (Sumatera Utara), Batu (Nusa Kambangan), dan Kasongan (Kalimantan Tengah). Upaya tersebut dimaksudkan sebagai upaya pengendalian yang lebih baik, pemberian pengawasan yang lebih ekstra, pembatasan interaksi antar narapidana, dan menghentikan peredaran narkotika dari dalam Lembaga Pemasyarakatan.[3]

Di samping itu, dimasukkannya sistem Restorative Justice ke dalam RUU KUHP Indonesia memberikan peluang pengadaan rehabilitasi medis dan sosial yang lebih luas terhadap penyalahguna narkotika, sehingga tidak melulu bermuara pada pemberian sanksi pidana penjara atau pemberian denda. Perlu diketahui bahwa Restorative Justice merupakan sistem pemidanaan yang menekankan pada upaya damai dan pemulihan terhadap pelaku maupun korban, sehingga pemidanaan tidak hanya berfokus pada pemberian sanksi atas perbuatan melawan hukum. Melalui sistem pemidanaan yang baru, diharapkan terwujudnya keadilan dan keseimbangan bagi pelaku dan korban. []

 

Penulis: Arimbi Estu Wardhani

Editor: Adhisa Fathirisari P.


[1] Badan Narkotika Nasional Republik Indonesia, Pengertian Narkoba dan Bahaya Narkoba Bagi Kesehatan, https://bnn.go.id/pengertian-narkoba-dan-bahaya-narkoba-bagi-kesehatan/, diakses pada Tanggal 15 April 2021 Pukul 09.52 WIB.

[2] Pasal 1 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika.

[3] Sri Lestari – BBC News Indonesia, Bisakah Menghentikan Peredaran Narkoba di dan dari Penjara? https://www.google.com/amp/s/www.bbc.com/indonesia/indonesia-40806642.amp, diakses pada Tanggal 15 April 2021 Pukul 21.04 WIB.


0 Komentar

Tinggalkan Balasan

Avatar placeholder

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.