[DIS-KAS] Rokok: Penyumbang Angka Kemiskinan di Indonesia?
Pada tahun 2019 Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat pengeluaran kebutuhan non-makanan penduduk Indonesia sebesar 50,86 persen, dengan rata-rata pengeluaran rokok dalam sebulan mencapai 6,05 persen sedangkan untuk belanja beras sebesar 5,57 persen. Jumlah belanja rokok tersebut setara dengan hasil penjumlahan dari belanja susu, telur ayam, dan sayur-sayuran. Fakta lain, BPS mencatat bahwa rokok (khususnya rokok kretek filter) berkontribusi dalam peningkatan angka kemiskinan kedua setelah makanan dengan angka 11,17 persen di perkotaan dan 10,37 persen di pedesaan. Dari data tersebut, dapat diketahui bahwa belanja rokok dan beras terlihat memiliki jumlah yang besar sebagai penyumbang kemiskinan terbesar di Indonesia.
Situasi tersebut telah menyita perhatian publik selama kurang lebih 3 tahun kebelakang. Termasuk respon dari Sri Mulyani, Menteri Keuangan Negara yang menyatakan bahwa rokok menjadi salah satu indikator kemiskinan (Jannah, 2021). Dikutip pula dari sumber tersebut, Deputi Direktur Institute for Development of Economics and Finance (IND Eko Listiyanto juga mengamini apabila konsumen terbanyak adalah kalangan menengah ke bawah. Merespon hal tersebut negara telah menyusun skema untuk menekan konsumsi rokok, salah satunya dengan peningkatan bea cukai sebesar 12 persen pada awal tahun lalu. Namun dibalik tingginya bea cukai ini justru terkesan tidak adil karena tidak dapat mengakomodasi kebutuhan aktor yang terlibat didalamnya, seperti buruh pabrik.
Pendapatan cukai yang kian tinggi berbanding terbalik dengan jumlah Industri Hasil Tembakau (IHT) yang mengalami tren penurunan setiap tahunnya (Kompas, 2018). Disisi lain dalam sumber yang sama pula, pendapatan negara dari cukai hasil tembakau selalu melebihi 100 persen target APBN. Penurunan pendapatan kurang dari 5 persen yang terjadi pada tahun 2016 disebabkan untuk belanja cukai sebagai bentuk pengelolaan aset. Penurunan IHT ini juga dipengaruhi oleh penerapan kebijakan cukai ganda (dari sisi industri dan penjualannya) sehingga penerapan kebijakan ini belum mampu menekan pada tingkat konsumsi, masih pada level pencapaian target pemasukan perusahaan.
Beberapa dampak dari kebijakan diatas, antara lain: Pertama, pabrik produksi rokok cenderung akan menekan biaya produksi, salah satunya biaya tenaga kerja sehingga skema kapitalisme terjadi didalamnya. Kedua, tidak jarang ditemukan kasus penyegelan pabrik illegal. Ketiga, masyarakat menengah ke bawah cenderung mengesampingkan kebutuhan lain, demi memenuhi kebutuhan akan rokok. Hal ini membuat potensi kemiskinan menjadi sulit untuk diturunkan karena budaya merokok pada masyarakat tersebut. Mengingat 50 persen kekayaan nasional dikuasai oleh 1 persen penduduk Indonesia, tentunya dengan skala prioritas berbeda (tidak menempatkan rokok setelah beras). Ditambah Indonesia merupakan negara penghasil tembakau terbesar keenam di dunia (P2PTM Kemenkes RI, 2018) sehingga potensi produksi rokok cukup besar terutama di daerah Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Nusa Tenggara Barat.
Mengutip data dari Susenas 2008-2010 dalam jurnal ( Surjono & Handayani, 2013), konsumsi rokok melejit tinggi ketimbang minuman beralkohol masyarakat menengah ke bawah. Rokok dijadikan layaknya barang pokok yang digunakan untuk melepas penat akibat beban kerja yang tinggi dengan upah tidak sebanding. Hal ini sejalan dengan data dalam jurnal (Ginting & Maulana, 2020):
-
Pada tahun 2008, rumah tangga miskin mengorbankan pengeluaran hampir seluruh komoditi, kecuali biaya kesehatan,
-
Pada tahun 2009, rumah tangga miskin mengorbankan komoditi padi-padian, ikan, udang, cumi, daging, telur, susu, bahan minuman, tembakau dan sirih lainnya, makanan lainnya, biaya kesehatan serta non-makanan lainnya,
-
Pada tahun 2010, rumah tangga miskin mengorbankan pengeluaran untuk semua komoditi,
-
Indonesia termasuk ke dalam 5 negara konsumen rokok terbanyak selain Cina, Rusia, Amerika Serikat, dan Jepang dengan prevalensi pria Indonesia sebesar 66% dan tertinggi di ASEAN .
Dari data tersebut dapat disimpulkan bahwa pendapatan rumah tangga menjadi faktor penentu pembelian rokok. Apabila harga rokok naik maka masyarakat kelas menengah ke bawah cenderung akan mengorbankan pengeluaran lain. Masyarakat desa memiliki pilihan lain dengan membeli merek rokok dengan harga yang lebih murah atau membeli tembakau untuk dibuat rokok gulungan. Asumsi ini diperkuat oleh publikasi hasil penelitian dalam jurnal (Supriadi & Rusyiana, 2018) bahwa rumah tangga miskin yang memiliki anggota rumah tangga perokok secara rata-rata mengkonsumsi beras relatif lebih rendah dibandingkan rumah tangga yang tidak memiliki anggota rumah tangga perokok, baik yang termasuk kategori miskin maupun tidak.
Faktor penyebab tingginya konsumsi rokok di Indonesia cukup beragam. Institusi keluarga juga mengambil peranan di dalamnya, misalnya kepala rumah tangga merokok kemudian ditiru oleh anak laki-lakinya. Kemudian, lingkungan pergaulan juga menjadi penyumbang tingginya angka merokok. Seperti falsafah Jawa yang mengatakan “mangan ora mangan, seng penting kumpul”, yang kemudian bergeser menjadi “ngudud ora ngudud, seng penting kumpul” (merokok tidak merokok yang penting kumpul) (Supriadi & Rusyiana, 2018). Falsafah tersebut kemudian berkembang menjadi suatu budaya laki-laki dewasa senang duduk bercengkrama di kedai-kedai, berbicara ditemani merokok. Selanjutnya, faktor usia seperti remaja dengan keingintahuan yang tinggi sehingga nekat mencoba rokok sebagai hal baru yang menyebabkan kecanduan sehingga melakukannya secara berulang. Tingkat pendidikan dan literasi rendah juga menjadi salah satu faktor penyebab disini. Contohnya, peraturan Kemenkes untuk menyertakan dampak atau penyakit berbahaya yang akan menjangkiti perokok pada bungkus rokok seakan tidak menimbulkan efek jera, bahkan beralih pada rokok elektrik yang dianggap lebih sehat.
Disisi lain beberapa kebijakan yang diberlakukan oleh pemerintah, dapat dikatakan meningkatkan laju konsumsi rokok. Contohnya:
-
Skema bantuan sosial Program Keluarga Harapan (PKH), tujuan program tersebut salah satunya untuk membentuk keluarga yang sehat. Rumah tangga yang awalnya kesulitan membeli rokok, dapat membeli rokok kembali karena tambahan pendapatan yang dimilikinya. Sayangnya didalamnya tidak diatur bagaimana rumah tangga yang justru membelanjakan uangnya untuk rokok bukan kebutuhan pokok. Hal ini kemudian menular antargenerasi maupun kepada anggota rumah tangga lainnya.
-
BPJS, Program yang diberikan oleh negara ini justru kerap disalah gunakan keberfungsiannya. Perokok menganggap bahwa apabila ia sakit maka negara akan menanggungnya.
Ditambah ada sistem dualisme terhadap rokok, antara pola pikir Kementerian Kesehatan dan generasi muda. Kebijakan Hari Tanpa Tembakau yang diinisiasi oleh WHO pada tahun 1987 dan diadopsi oleh Kemenkes (diperingati setiap 31 Mei) ternyata memiliki makna yang berbeda di mata generasi muda. Ia (generasi muda) menganggap bahwa rokok elektrik tidak menggunakan tembakau sehingga tidak lebih berbahaya daripada rokok konvensional. Padahal, keduanya sama-sama mengandung senyawa kimia yang berbahaya bagi organ dalam tubuh manusia.
Berdasarkan analisis tersebut, tingginya konsumsi rokok ini dapat dipengaruhi oleh banyak hal. Kebijakan-kebijakan diatas justru mendorong perokok untuk tetap merokok, perlu adanya intervensi kebijakan agar kebijakan yang ada dapat dinikmati oleh berbagai, contohnya seperti cukai. Langkah-langkah preventif yang ada (cukai) justru hanya terkesan sebagai formalitas saja, bahkan cenderung dinikmati oleh bias elit. Penyediaan kawasan bebas rokok juga kerap disalahartikan bahwa rokok elektrik masih dapat merokok di kawasan tersebut.
Solusi yang dapat ditawarkan yaitu: pertama, adanya pengawasan terhadap program PKH. Selain memberikan bantuan sosial, pemerintah harus kritis dan terus mengevaluasi program ini apakah tepat sasaran serta dampak apa yang ditimbulkan. Pemerintah seharusnya memberikan konsekuensi terhadap program yang diterima oleh masyarakat, contohnya selama menerima program tersebut, rumah tangga penerima bansos dilarang untuk merokok (Supriadi & Rusyiana, 2018). Kedua, ada syarat untuk pengguna jaringan pengaman kesehatan, seperti BPJS. Misalnya penderita penyakit bukan sakit akibat dari konsumsi rokok, dengan syarat penerima manfaat bukanlah perokok aktif. Meski dinilai cukup efektif, tetapi BPJS perlu meninjau dan mengatur kembali terkait kebijakan ini. Keadaan ini tidak lepas dari tingginya angaran yakni dalam setahun biaya kesehatan akibat rokok sebesar Rp17,9 triliun-Rp27,7 triliun. Sejumlah Rp10,5-Rp15,6 triliun diantaranya merupakan biaya perawatan yang dikeluarkan oleh BPJS Kesehatan (Bisnis.com, 2021), penyakit golongan katastropik (jantung, kanker, ginjal, kanker, serta penyakit darah lain) menjadi penyumbang terbesar dalam anggaran tersebut (Republika.id, 2022). Ketiga, disediakan skema jaring pengaman sosial bagi buruh yang bekerja di pabrik rokok dan petani tembakau. Sebab menekan konsumsi rokok berarti diikuti dengan memangkas produksi rokok yang akan berimbas ke tingkat penjualan dan produksi.
Dari paparan diatas, dapat disimpulkan bahwa rokok erat kaitannya dengan kemiskinan. Berdasarkan data diatas fenomena sosial antara rokok dan beras juga telah muncul sejak tahun 2010 tetapi baru disoroti 3 tahun terakhir, terutama sejak rilis data oleh BPS terkait belanja rokok yang lebih besar ketimbang beras. Hal ini menunjukkan bahwa program maupun kebijakan yang dibuat oleh pemerintah tidak efektif dan cenderung bertumpang tindih (menyelesaikan satu masalah tetapi menimbulkan masalah lain). Oleh karena itu, pemerintah baik pusat dan daerah harus mensinergikan kebijakan yang dibuat, pengentasan kemiskinan sekaligus pengurangan konsumsi rokok. Sehingga output kebijakan yang dihasilkan tidak sia-sia, dalam artinya suatu kebijakan untuk menangani suatu fenomena sosial justru menimbulkan fenomena sosial lainnya. Terakhir, semua kebijakan yang dijalankan oleh pemerintah hendaknya bersifat kritis dan evaluatif dalam pelaksanaannya bukan hanya bersifat formalitas.
Penulis: Auliya Fitriaturrahma
Editor: Seluruh Anggota Divisi Kajian Strategis Raja Bandar
Sumber Bacaan :
Bisnis.com. (2021, December 13). Sri Mulyani: Konsumsi Rokok Bebani BPJS Kesehatan hingga Rp15,6 Triliun. Finansial Bisnis.com. Retrieved May 5, 2022, from https://finansial.bisnis.com/read/20211213/215/1477267/sri-mulyani-konsumsi-rokok-bebani-bpjs-kesehatan-hingga-rp156-triliun
BPS. (2020, June 29). Badan Pusat Statistik. Badan Pusat Statistik. Retrieved May 5, 2022, from https://www.bps.go.id/publication/2020/06/29/a0c51afcd2c799871ed40f19/pengeluaran-untuk-konsumsi-penduduk-indonesia-per-provinsi-september-2019.html
Ginting, I. R., & Maulana, R. (2020). DAMPAK KEBIASAAN MEROKOK PADA PENGELUARAN RUMAH TANGGA. JURNAL KEBIJAKAN KESEHATAN INDONESIA : JKKI, 77-82.
Jannah, S. M. (2021, Desember 20). Menelaah Pernyataan Sri Mulyani soal Rokok Penyebab Kemiskinan. Retrieved from
https://tirto.id/menelaah-pernyataan-sri-mulyani-soal-rokok-penyebab-kemiskinan-gmno
Kompas. (2018, Agustus 13). Kebijakan Cukai Belum Fokus ke Pembatasan Konsumsi Rokok. Retrieved from https://ekonomi.kompas.com/read/2018/08/13/183524626/kebijakan-cukai-belum-fokus-ke-pembatasan-konsumsi-rokok?amp=1&page=2
P2PTM Kemenkes RI. (2018, November 19). Indonesia sebagai Negara penghasil tembakau terbesar keenam – Direktorat P2PTM. Direktorat P2PTM. Retrieved May 5, 2022, from http://p2ptm.kemkes.go.id/infographic-p2ptm/penyakit-paru-kronik/indonesia-sebagai-negara-penghasil-tembakau-terbesar-keenam
Republika.id. (2022, January 25). Menkes: Penyakit Katastropik Habiskan Biaya BPJS Kesehatan Terbesar. Republika. Retrieved May 5, 2022, from https://www.republika.co.id/berita/r6978a380/menkes-penyakit-katastropik-habiskan-biaya-bpjs-kesehatan-terbesar
Supriadi, A. Y., & Rusyiana, A. (2018). BERAS ATAU ROKOK?: Beban Ekonomis Rumah Tangga Miskin di Indonesia 2014. Jurnal Aplikasi Statistika & Komputasi Statistika , 28-38.
Surjono, N. D., & Handayani, P. S. (2013). DAMPAK PENDAPATAN DAN HARGA ROKOK TERHADAP TINGKAT KONSUMSI ROKOK PADA RUMAH TANGGA MISKIN DI INDONESIA. Jurnal BPPK, Volume 6 Nomor 2, 19-34.
0 Komentar