KABAR BAGINDA : AWAS BAHAYA TEMBAKAU PANAS
Merokok masih menjadi salah satu masalah kesehatan global yang paling mendesak. Jumlah perokok saat ini bahkan diperkirakan tembus 65 juta orang. Namun, bentuk perangkat merokok yang lebih baru terus diperkenalkan di seluruh penjuru dunia dalam dekade terakhir. Produk tembakau yang dipanaskan menjadi tambahan terbaru dalam daftar ini. Pemanas tembakau pertama kali diluncurkan di Italia dan Jepang pada tahun 2014 dan hingga saat ini sudah tersedia di 41 negara, termasuk 22 kawasan dalam WHO-Eropa, dan pangsa pasarnya semakin meluas. Beberapa tahun belakangan ini tepatnya pada 2019, tren tembakau yang dipanaskan mulai menjamur di Indonesia. Produsen pemanas tembakau di Indonesia sukses menjual sebanyak 6000 produk dan meningkat pesat menjadi 30.000 produk satu tahun kemudian.
Tembakau yang dipanaskan seringkali disebut “Heat-not-Burn/HNB” atau “HTPs (heated tobacco products)”. Produk ini bisa dibilang hibrida antara eCigs dan rokok tradisional, dilengkapi dengan perangkat pemanas tembakau hingga suhu 350 derajat tanpa proses pembakaran untuk menghasilkan aerosol. Bahan yang dipanaskan bukan cairan, melainkan tembakau asli sehingga produk ini masih berbasis memakai batang rokok.
Produk tembakau yang dipanaskan termasuk kedalam Hasil Pengolahan Tembakau Lainnya (HPTL). Ini merupakan hasil tembakau yang dibuat dari daun tembakau. Selain yang disebut sigaret, cerutu, rokok daun, dan tembakau, iris yang dibuat sesuai dengan perkembangan teknologi dan selera konsumen. Sebenarnya, produk tembakau alternatif adalah bagian dari strategi tobacco harm reduction yang tetap membuat perokok mendapat asupan nikotin tanpa terpapar zat-zat berbahaya. Cukai yang dikenakan pada HTPL sebesar 57% berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 146/PMK.010/2017 tentang Tarif Cukai Hasil Tembakau. Aturan tersebut selanjutnya direvisi menjadi PMK Nomor 156 Tahun 2018 yang didalamnya juga mengatur industri HPTL.
Dampak kesehatan yang ditimbulkan produk tembakau dipanaskan tak ubahnya rokok dan dinilai sama dengan produk tembakau lain. Berdasarkan penelitian yang dilakukan Farzad Moazed, dkk dari Departemen of Medicine University of California San Fransisco, ditemukan tidak adanya perbedaan dampak yang dihasilkan rokok konvensional maupun produk tembakau yang dipanaskan. Emisinya juga mengandung senyawa organik yang mudah menguap dalam kadar signifikan seperti akrolein, asetaldehida, dan formaldehida. Produk ini menginduksi cedera inflamasi yang signifikan sehingga dapat meningkatkan alarm risiko infeksi pada pengguna.
Hasil penelitian Department of Environmental Health National Institute of Public Health Jepang menunjukkan tidak ada perbedaan yang berarti antara senyawa gas dan partikulat pada rokok dan heated tobacco products. Bahan kimia yang paling melimpah dalam rokok tradisional adalah nikotin, diikuti asetaldehida, gliserol, isoprena, dan aseton. Pada HTPs, senyawa paling banyak adalah gliserol, mentol, nikotin, propilen glikol, dan aseton. Bahkan Studi dari Department of Molecular, Cell, and System Biology University of California menunjukkan potensi bahaya filter film polimer pada produk tembakau yang dipanaskan karena dapat meleleh dan melepas formaldehida cyanohydrin yang merupakan racun berbahaya.
Produk HTPs dipromosikan dengan jargon tembakau yang dipanaskan sebagai pilihan yang lebih baik daripada terus merokok. Rokok ini diklaim mampu mengurangi sekitar 95 persen zat-zat kimia berbahaya dibanding rokok konvensional. Meski ditemukan memiliki 50 persen sampai 90 persen lebih sedikit senyawa berbahaya dibanding rokok konvensional, produk ini masih menimbulkan risiko bagi penggunanya. Produsen rokok jenis ini, seperti IQOS yang merupakan produk Philip Moris International (PMI) dan jouz buatan brand asal Jepang, dalam situs resminya menginformasikan bahwa tembakau panas tetap mengandung nikotin yang dapat mengakibatkan ketergantungan. Studi dari Konstatinos Farsalinos, dkk yang dilakukan di Greece mengungkap bahwa produk heat-not-burn memancarkan karbonil tingkat tinggi secara substansial. Meskipun lebih rendah dari rokok tembakau tetapi kadarnya lebih besar dari rokok elektrik.
Jika ditilik dari pernyataan Tobacco Control Support Center (TCSC) Ikatan Ahli Kesehatan Indonesia (IAKMI) bahwa produk tembakau yang dipanaskan sebagai alat berhenti merokok dan diklaim 95% lebih aman adalah hal yang naif. Klaim tersebut berasal dari studi Public Health England yang ditetapkan berdasarkan bobot penilaian tim peneliti, bukan hasil uji kandungan produk di laboratorium. Hal tersebut juga sudah dibantah dengan temuan selanjutnya yang dimuat British Medical Journal.
Produk tembakau yang mengandung zat adiktif dengan dosis nikotin lebih kecil, ditakutkan menjadi pintu masuk untuk mengonsumsi produk dengan dosis yang lebih besar. Data dari JAMA Internal Medicine, produk pemanas tembakau menghadirkan senyawa organik yang mudah menguap, aromatik polisiklik hidrokarbon, dan karbon monoksida. Asapnya memiliki 84% kandungan nikotin yang ditemukan pada rokok konvensional. Produk terbaru tembakau dengan basis elektronik ini memberi efek buruk bagi kesehatan karena memiliki kandungan karsinogen penyebab kanker. Bahan karsinogen ditemukan pada perangkat yang kontak dengan asap ataupun uap yang dihirup pengguna. Selain itu, terdapat sebuah penelitian independen terhadap uji emisi produk ini yang membuktikan bahwa terdapat zat beracun pada produk HTPs yang tidak terdaftar dalam FDA yang memiliki kadar lebih tinggi daripada rokok konvensional.
Kelemahan lain dari produk ini adalah sistem pemasaran yang tidak menyertakan peringatan kesehatan baik gambar maupun tulisan, sehingga dinilai mengabaikan peraturan. Aturan yang mewajibkan produk tembakau untuk memberi peringatan kesehatan antara lain Peraturan Pemerintah Nomor 109 Tahun 2012 tentang Pengamanan Bahan yang Mengandung Zat Adiktif Berupa Produk Tembakau Bagi Kesehatan dan Peraturan Kementrian Kesehatan Nomor 28 tahun 2013 tentang Pencantuman Peringatan Kesehatan dan Informasi Kesehatan Pada Kemasan Produk Tembakau. Peredaran rokok jenis tembakau yang dipanaskan belum diatur secara rinci, termasuk dalam hal pengendaliannya. Selain itu, beberapa pihak mendukung pemerintah memasukkan larangan produk ini dalam revisi PP 109 Tahun 2012, tetapi masih dikaji lebih lanjut dengan mempertimbangkan profil risiko.
Lebih dari separuh orang yang tertarik pada produk pemanas tembakau tidak pernah merokok. Kesimpulan tersebut didasarkan pada penelitian Xiaoqiu Liu yang dipublikasikan Jurnal BMJ. Survei dilakukan pada 3086 subjek melalui multistage sampling mewakili populasi Italia berusia 15 tahun. Ini menjadi objek penelitian tentang kesadaran penggunaan tembakau yang dipanaskan. Hasilnya 19,5% responden mengetahui produk ini, 1,4% telah mencobanya, dan 2,3% bermaksud mencobanya. Secara keseluruhan, 1,0% orang tidak pernah merokok, 0,8% mantan perokok dan 3,1% perokok konvensional juga mencoba produk heat-not-burn ini. Oleh karenanya dikhawatirkan masyarakat usia muda justru belajar menjadi perokok pemula dengan menggunakan produk pemanas tembakau sehingga bukan mendorong perokok aktif beralih, tetapi justru meningkatkan jumlah perokok. Akibatnya heated tobacco products/ HTPs dapat menjadi pintu gerbang kecanduan nikotin diantara mereka yang tidak pernah merokok daripada mereka yang menggunakannya untuk tujuan pengurangan bahaya rokok.
Food and Drug Administration (FDA) dan berbagai penelitian lain menunjukkan bahwa heated tobacco producs/HTPs bukan metode yang aman serta efektif untuk membantu seseorang berhenti merokok. Faktanya, banyak pengguna HTPs sekaligus menjadi pengguna rokok konvensional. Oleh karenanya, penggunaan nikotin sebagai alat bantu berhenti merokok pada akhirnya memiliki sejumlah persyaratan khusus yang harus dipenuhi dan hanya diberikan kepada perokok yang ingin berhenti merokok.
Sistem heated tobacco producs tidak bebas bahaya seperti yang diklaim dan perlu pengujian keamanan lebih lanjut, mengingat kepopuleran produk dan penggunanya yang berkembang pesat. Informasi mengenai produk ini belum diketahui public secara komprehensif, padahal perokok dan bukan perokok perlu mendapat penjelasan akurat mengenai bahaya dari produk tembakau heat-not-burn.
Penulis: Sabrina Gita Pramesti & Cici Jesica
Editor: Divisi Badan Semi Otonom & Divisi Kajian Strategis Raja Bandar
Sumber Bacaan :
Uchiyama, S., Noguchi, M., Takagi, N., Hayashida, H., Inaba, Y., Ogura, H. and Kunugita, N., 2018. Simple determination of gaseous and particulate compounds generated from heated tobacco products. Chemical Research in Toxicology, 31(7), pp.585-593.
Chun, L., Moazed, F., Matthay, M., Calfee, C. and Gotts, J., 2018. Possible hepatotoxicity of IQOS. Tobacco Control, 27(Suppl 1), pp.s39-s40.
Davis, B., Williams, M. and Talbot, P., 2019. iQOS: evidence of pyrolysis and release of a toxicant from plastic. Tobacco Control, 28(1), pp.34-41.
Auer, R., Concha-Lozano, N., Jacot-Sadowski, I., Cornuz, J. and Berthet, A., 2017. Heat-not-burn tobacco cigarettes: smoke by any other name. JAMA internal medicine, 177(7), pp.1050-1052.
Liu, X., Lugo, A., Spizzichino, L., Tabuchi, T., Pacifici, R. and Gallus, S., 2019. Heat-not-burn tobacco products: concerns from the Italian experience. Tobacco Control, 28(1), pp.113-114.
Farsalinos, K.E., Yannovits, N., Sarri, T., Voudris, V., Poulas, K. and Leischow, S.J., 2018. Carbonyl emissions from a novel heated tobacco product (IQOS): comparison with an e‐cigarette and a tobacco cigarette. Addiction, 113(11), pp.2099-2106.
0 Komentar