[DIS-KAS] Status Ganja di Indonesia
Ganja (Cannabis sativa) merupakan salah satu jenis tanaman psikotropika yang “berasal dari Laut Kaspia, tetapi dilaporkan berasal dari Jawa pada abad ke-10” berdasarkan Kamus Sejarah Indonesia. Kamus sejarah tersebut mengemukakan bahwa ganja digunakan sebagai sumber serat dan minuman keras meskipun penggunaannya tidak seumum konsumsi tembakau, opium, atau betel. Ganja atau Bang, sebagaimana dicatat oleh sejumlah penulis Belanda selama masa penjajahan, dijadikan sebagai “agen intoksikasi” yang daunnya dicampur dan dibakar dengan tembakau, terutama di wilayah Aceh. Konon, daun ganja kering yang dibungkus dengan daun jagung atau daun pisang dapat menghasilkan efek yang lebih kuat.
Berdasarkan sejarah, ganja biasanya tumbuh di bagian utara pulau Sumatera. Di kala itu, Belanda membuka perkebunan kopi di Dataran Tinggi Gayo dan menggunakan ganja sebagai obat alami untuk menghindari serangan hama pohon kopi atau ulat pada tanaman tembakau. Beberapa dokumen mengemukakan bahwa tanaman ganja juga tumbuh di wilayah lain di Hindia Belanda, seperti wilayah Batavia (Jakarta), Buitenzorg (Bogor), dan Ambon. Tampaknya, selama akhir abad ke-19, ganja masih belum dikenal di kalangan masyarakat Jawa. Meskipun begitu, ada asumsi bahwa tanaman itu mungkin saja telah dibudidayakan di pulau tersebut mengingat keakraban masyarakat setempat dengan istilah-istilah seperti ganja atau genji.
Pada akhir abad ke-19, iklan ganja kadang-kadang muncul dalam beberapa koran berbahasa Belanda di Hindia Belanda. Sebagian besar iklan itu berusaha untuk mempromosikan rokok ganja sebagai obat untuk berbagai penyakit, mulai dari asma, batuk dan penyakit tenggorokan, kesulitan bernapas, dan sulit tidur. Penting untuk diingat bahwa iklan-iklan tersebut pada umumnya diarahkan untuk masyarakat Eropa yang berada di Hindia Belanda, mengingat penggunaan ganja secara medis yang umum di Eropa pada waktu itu.
Pada tahun 2009, Indonesia mengeluarkan undang-undang tentang larangan proses produksi, distribusi sampai tahap konsumsi dari tanaman ganja. Berdasarkan Lampiran I butir 8 Undang-Undang No. 35 tahun 2009 tentang narkotika, tanaman ganja termasuk dalam narkotika Golongan 1. Keberadaan Ganja di Indonesia seperti diambang ketidakpastian, antara diperbolehkan digunakan dan tidak diperbolehkan. Walaupun undang-undang anti-narkotika di Indonesia secara teknis memperbolehkan penggunaan ganja untuk tujuan ilmiah tertutup (dalam kaitannya dengan tujuan medis), tampaknya hanya ada sedikit (atau bahkan tidak ada sama sekali) program penelitian resmi tentang ganja. Menurut LGN, beberapa tanaman ganja sebenarnya telah dibudidayakan di Tawangmangu, Jawa Tengah, meskipun dikelola oleh badan penelitian.
Di luar negeri, ganja dibedakan menjadi dua jenis, yaitu ganja untuk kepentingan industri (Cannabis Hemp) maupun medis (ganja jenis Hemp). Ganja Hemp mengandung Tetrahydrocannabinol (THC) di bawah 0,3%, sedangkan Cannabis bisa mencapai 6% sampai 20%. Sementara itu, di Indonesia tidak terdapat perbedaan ini. Hingga tahun 2008, 12 negara yang meliputi Belanda, Jerman, Argentina, Siprus, Ekuador, Meksiko, Peru, Swiss, Spanyol, Belgia, Republik Ceko, Brasil, Chili, Uruguay, Paraguay, Colombia, Australia, dan Amerika Serikat telah memiliki bentuk legalisasi, regulasi, dan dekriminalisasi bagi pasien yang memang benar-benar memerlukan sesuai dengan resep dokter dan dapat dipertanggungjawabkan secara medis. Hal inilah yang perlu dilakukan Indonesia untuk lebih membuka diri tentang informasi yang terbarukan dari negara-negara yang memiliki penelitian tentang ganja.
Salah satu penggagas legalisasi ganja di Indonesia adalah Organisasi Lingkar Ganja Nusantara. Gerakan Lingkar Ganja Nusantara (LGN) merupakan sekelompok organisasi pertama yang percaya bahwa ganja memiliki manfaat yang cukup besar bagi keberlangsungan hidup masyarakat Indonesia. Kepercayaan LGN terhadap manfaat medis dari ganja didasarkan atas sejarah penggunaan ganja di masa lalu dan hasil penelitian yang dilakukan oleh beberapa ahli, sehingga dengan pengetahuan dan informasi tersebut LGN memiliki tujuan untuk melegalkan ganja untuk keperluan medis di Indonesia. Selain itu, Organisasi Lingkar Ganja Nusantara juga berpendapat bahwa ganja memiliki potensi tinggi untuk dimanfaatkan sebagai sumber serat tekstil, lebih baik dari tanaman kapas, atau bubur kertas.
Dengan melihat dan membaca berbagai pertimbangan di atas, maka perlu dilakukan studi, kajian, dan penelitian lebih lanjut mengenai kebermanfaatan ganja dalam potensi aplikasi di dunia medis. Selain itu, terdapat kebutuhan mendesak bagi pemerintah untuk meningkatkan berbagai bentuk kerja sama dan koordinasi dalam menangani wacana seputar ganja di antara lembaga-lembaga publik—mulai dari anggota parlemen, lembaga kementerian, Mahkamah Agung, BNN, Polri, hingga pihak militer Indonesia—dan yang lebih penting lagi adalah melibatkan institusi publik, masyarakat sipil, dan organisasi berbasis masyarakat di seluruh Indonesia. Dengan demikian, status ganja di Indonesia akan dapat diperjelas—apakah harus berada di ranah terlarang atau dilegalkan.
Penulis: Moch Alfino Ridho Kuncoro
Editor: Adhisa Fathirisari P.
Sumber Bacaan :
- Aldiano Hanri, 2018 (Persepsi Mahasiswa Terhadap Gagasan Legalisasi Ganja Di Indonesia)
- Diana Putri, Tom Blickmen, 2016 (Ganja di Indonesia)
0 Komentar