[RBFest] Juara 2 – DODOL (DROP OUT DRUGS OUT OF COLLEGE): Konsep anti-NAPZA ala Mahasiswa Gadjah Mada

Dipublikasikan oleh rajabandar.wg pada

DODOL (DROP OUT DRUGS OUT OF COLLEGE) : Konsep anti-NAPZA ala Mahasiswa Gadjah Mada

Oleh: Latifatul Zahiroh


Bicara soal NAPZA (Narkotika, Psikotropika, dan Zat Adiktif lainnya) atau narkoba (narkotika, psikotropika, dan obat terlarang) seakan tak ada habisnya. Sejak duduk di bangku sekolah, universitas, ataupun di lingkup umum, kampanye pemberantasan narkoba sudah menjamur digaungkan. Tetapi faktanya, peredaran dan penyalahgunaan narkoba masih selalu eksis. Secara global, menurut data United Nations Office on Drugs and Crime (UNODC) dalam World Drug Report 2016, melaporkan bahwa 1 dari 20 orang pada rentang usia produktif (15- 64 tahun) mengonsumsi setidaknya satu narkoba. Sedangkan data dari Badan Narkotika Nasional (BNN), World Drug Report UNODC 2020 mencatat sekitar 269 juta orang di dunia menyalahgunakan narkoba. Angka tersebut 30% lebih tinggi dibandingkan tahun 2009. Fakta ini menunjukkan kenyataan ironis karena generasi muda yang semestinya menjadi garda terdepan masa depan, justru menjadi kelompok rentan dalam jerat narkoba.

Di Indonesia, jumlah kasus penyalahgunaan narkoba sebagaimana diungkapkan oleh BNN, mengalami penurunan sebesar 0,6% sejak 2019 sampai 2020, atau sekitar 1 juta orang tidak lagi bergulat dengan narkoba. Angka tersebut tak dapat dikatakan signifikan, mengingat efektivitas pemberantasan narkoba tak sekadar dilihat dari jumlah penurunan kasus. Dilansir dari CNN, pada 2019, Badan Reserse Kriminal Polri mencatat total temuan narkoba jenis sabu- sabu sebanyak 2,7 ton, lalu meningkat menjadi 4,57 ton pada 2020. Temuan itu membuka tabir bahwa narkoba di Indonesia masih menggeliat hebat, bahkan sebegitu tajamnya dalam kurun waktu setahun.

Narkoba memang masih diminati oleh banyak kalangan. Alasan pemakaiannya pun variatif, seperti memperoleh ketenangan, kebahagiaan, keluar dari trauma dan masalah, atau semisalnya. Padahal secara logika dan riset ilmiah justru sebaliknya, di mana narkoba merupakan jalan keluar semu. Namun masalahnya, zat penuh candu ini menyebabkan ketergantungan sehingga tak mudah dibasmi. Nahasnya, narkoba terus menggerogoti berbagai lingkup, termasuk perguruan tinggi. Bahkan menurut Kepala Bagian Akademik dan Kemahasiswaan Kementerian Riset, Teknologi, dan Perguruan Tinggi (Kemenristekdikti), dituturkan bahwa kampus adalah salah satu tempat yang dianggap “aman” oleh pengedar narkoba dari incaran polisi (Indozone, 2019).

Kampus yang seharusnya menjadi tempat belajar, justru dapat menjadi gudang pergerakan narkoba yang liar. Aliansi Relawan Perguruan Tinggi Anti Penyalahgunaan Narkoba (Artipena) menyatakan bahwa sebanyak 27 persen pengguna narkoba di Indonesia adalah pelajar dan mahasiswa (Tambun, 2021). Usia produktif dan kehidupan perkuliahan yang beragam, menempatkan mahasiswa sebagai sasaran empuk narkoba. Mahasiswa yang belum sepenuhnya dewasa –namun juga bukan lagi anak-anak—mengalami fase transisi yang rawan menimbulkan gejolak psikis. Schulenberg & Maggs (2002) menerangkan bahwa dunia perkuliahan adalah periode di mana mahasiswa menunda untuk memanggul peran dan tanggung jawab orang dewasa. Di samping itu, mahasiswa harus menjalankan tugas-tugas normatif, sembari menghadapi tuntutan akademik, sosial, dan lainnya (Larimer et al., 2005).

Lantas, apa jalan keluarnya?

 

Upaya pembersihan narkoba di kampus butuh dukungan seluruh pihak. Pasalnya, mahasiswa dapat menjadi generasi rusak karena kegagalan melalui fase kritisnya. Bayang- bayang masa depan yang tak pasti, kecemasan ini-itu, dan masalah lainnya dapat menjadi penyakit tak kasat mata. Dibutuhkan pendekatan yang tidak hanya semarak gerakan sementara, lalu senyap, kemudian lenyap. Keberadaan narkoba yang sudah merajalela, harus diperangi lewat aksi nyata berjangka panjang. Seiring perkembangan zaman, model “dakwah” narkoba juga tak boleh “wagu” (kaku). Ringkasnya, perlu pendekatan “kekinian”, terlebih mahasiswa adalah kaum muda yang gemar mengikuti tren.

Adapun langkah tersebut dapat penulis rancang dalam konsep “DODOL”. Umumnya, dodol dikenal masyarakat sebagai camilan kecil yang manis rasanya. Penulis mengibaratkan dodol dengan konsep pencegahan narkoba di lingkungan UGM lewat analogi. Pertama, bahwa untuk menghasilkan dodol bermutu tinggi, dibutuhkan keahlian khusus, sehingga untuk melawan narkoba, perlu pula keterampilan. Kedua, meskipun dodol sering dijual dalam jumlah besar, namun potongan dodol selalu kecil-kecil, yang mana mencerminkan aksi anti-NAPZA semestinya dapat dimulai dari usaha-usaha kecil berkelanjutan, untuk nantinya membuat dampak besar. Ketiga, proses memasak dodol memerlukan pengawasan dan harus diaduk terus- menerus, di mana memberi gambaran pada langkah memberantas narkoba yang perlu dibarengi monitoring dan evaluasi. Perlu digarisbawahi, untuk mewujudkan dodol yang “manis”, harus siap sedia menghadapi fase-fase ironis.

DODOL sendiri membutuhkan bahan-bahan penting yang harus ada sebagai penyusunnya. Secara garis besar, sebut saja sebagai “solusi”. Upaya menyeluruh yang dapat dilakukan untuk menciptakan lingkungan Gadjah Mada anti-NAPZA dalam kerangka DODOL di antaranya yaitu edukasi melalui sosialisasi interaktif yang tak terbatas pada kata-kata formal sehingga menarik partisipasi mahasiswa. Mengacu pada kajian Larimer (2005), program interaktif bisa meliputi pengembangan life skill dan social skill. Contohnya, menggunakan instrumen pendukung seperti kampanye infografis di media sosial, challenge dan lomba berhadiah, atau talk show bertema up to date. Selain itu, untuk menguatkan mindset anti- NAPZA, dapat melalui penetapan materi P4GN menjadi mata kuliah umum. Nantinya, kelas ini diharapkan lebih “santai”, tak harus duduk di kelas, melainkan dapat di selasar fakultas, lapangan, atau lainnya dengan pengajaran kekinian, semisal menonton film bersama dalam rangka menciptakan nuansa “nongkrong bareng” yang tidak membosankan.

Bergerak pada aspek administratif, pihak kampus dapat membuat kebijakan tes urine rutin. Tes ini diwajibkan bagi seluruh pihak kampus tak hanya saat resmi menjadi bagian UGM, tetapi juga setiap akan memasuki tahun ajaran baru hingga kelulusan. Jika teridentifikasi positif narkoba, selanjutnya dapat ditelusuri asalnya dan diberi sanksi tegas. Kegiatan ini dapat dikokohkan dengan wadah pengaduan dan konsultasi NAPZA di tiap fakultas. Wadah yang dimaksud yakni bidang resmi khusus yang diisi oleh para ahli, seperti psikiater untuk menangani mahasiswa yang butuh pertolongan psikis, sekaligus dapat menjadi tempat pelaporan tindakan yang mengarah ke penyalahgunaan NAPZA.

Penciptaan kampus yang bersih narkoba juga butuh perbaikan dari segi moral, meliputi spiritual-sosial. Beberapa penelitian menyatakan bahwa komitmen yang rendah terhadap agama mengakibatkan risiko menyalahgunakan narkoba lebih tinggi sebesar empat kali lipat (Suryawati et al., 2015). Maka dari itu, menempuh pendekatan keagamaan juga bagian penting menuju pencegahan narkoba. Kemudian secara sosial, yaitu menyangkut support system dari orang-orang terdekat yang dapat dimulai dari kita melalui kepekaan terhadap sekitar. Disadari atau tidak, kepedulian yang kita tunjukkan, dapat menolong seseorang untuk keluar dari suatu masalah.

Terlepas dari “bahan-bahan” yang ada, konsep DODOL hanya akan berakhir nama jika tidak dipraktikkan. DODOL maupun gerakan-gerakan pencegahan narkoba hadir sebagai alat, bukan sistem pengontrol otak seseorang, sehingga semua akan kembali pada diri kita, apakah bersikap pro atau kontra terhadap NAPZA. Begitupun untuk melahirkan mahasiswa Gadjah Mada anti-NAPZA, kuncinya tergantung pada kemauan dari perseorangan hingga keseluruhan pihak, apakah bersedia kompak memerangi, sebagaimana slogan khas ke-UGM-an: “bersinergi dalam harmoni”?

 

DAFTAR PUSTAKA

Badan Narkotika Nasional, 2020, PRESS RELEASE AKHIR TAHUN 2020; “Sikap BNN Tegas, Wujudkan Indonesia Bebas Dari Narkoba”, media release, 22 Desember, Humas BNN, Jakarta, dilihat 10 September 2021, <https://bnn.go.id/press-release-akhir-tahun- 2020/>

CNN Indonesia 2020, Data Polri: Kasus Narkoba Makin Marak Selama Pandemi Corona, dilihat                  10                                 September                                           2021,<https://www.cnnindonesia.com/nasional/20201118143942-12-571377/data-polri- kasus-narkoba-makin-marak-selama-pandemi-corona>

Indozone 2019, Pusaran Penyalahgunaan Narkoba di Lingkungan Kampus Ibu Kota, dilihat

10          September          2021,             <https://www.indozone.id/news/yBsk8J/pusaran- penyalahgunaan-narkoba-di-lingkungan-kampus-ibu-kota/read-all>

Larimer, ME, Kilmer, JR, & Lee, CM, 2005, ‘College student drug prevention: A review of individually-oriented prevention strategies’, Journal of Drug Issues, vol. 35, no. 2, hh. 431–455.

Suryawati, S., Widhyarto, SD, & Koentjoro, 2015, UGM Mengajak: Raih Prestasi Tanpa Narkoba, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta, dilihat 10 September 2021, <http://researchgate.net/publication/332669008>

Tambun, LT, 2021, ‘27% Pengguna Narkoba dari Kalangan Pelajar dan Mahasiswa, Berita Satu’,                Berita     Satu             Online,       dilihat  10                  September 2021, <https://www.beritasatu.com/nasional/792291/27-pengguna-narkoba-dari-kalangan- pelajar-dan-mahasiswa>

United Nations Office on Drugs and Crime 2016, World Drug Report 2016, dilihat 10 September                                                                                                                  2021, <https://www.unodc.org/doc/wdr2016/WORLD_DRUG_REPORT_2016_web.pdf>


0 Komentar

Tinggalkan Balasan

Avatar placeholder

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.